Menyelami Hakikat Idul Fitri

Ber-‘idul fithriadalah kembali kepada kesucian,yakni pencarian sisi-sisi baik, benar dan indah. Kebaikan menghasilkan etika, kebenaran menghasilkan ilmu dan keindahan menghasilkan seni.

M Quraish Shihab, guru besar tafsir Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dalam bukunyaMembumikan Al-Qur’anmenulis, kata‘idberarti ‘kembali’ danfithrberarti ‘agama yang benar’ atau ‘kesucian’ atau ‘asal kejadian’.

selamat idul fitri - http://kolom-unik.blogspot.com

Menurutnya, kalau kita memahami‘idul fithrisebagai ‘agama yang benar’, hal tersebut menuntut ‘keserasian hubungan’.Keserasian tersebut merupakan tanda keberagamaan yang benar.Dalam hal ini, NabiSAWbersabda, “Al-din al-mu’amalah.” Nasihat-menasihati dengan tenggang rasa juga termasuk dalam ajaran agama,karena Nabi juga bersabda, “Al-din al-nashihah.”

Ini berarti, setiap yang ber-‘idul fithriharus sadar bahwa setiap orang dapat melakukan kesalahan; dan dari kesadarannya itu, ia bersedia memberi dan menerima maaf.

Fithrah,ditegaskan Quraish,berarti kesucian. Ini dapat dipahami bahkan dirasakan maknanya saat Anda duduk termenung seorang diri. Ketika pikiran tenang, kesibukan hidup atau haru hati teratasi, akan terdengar suara hati nurani yang mengajak Anda berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan totalitas wujud Mahamutlak.

Selainmengantar Anda menyadari betapa lemahnya manusia di hadapan-Nya, dan betapa kuasa dan perkasa Dia yang Mahaagung itu.Menurut Quraish, suara yang Anda dengarkan itu adalah suarafithrahmanusia, suara kesucian. Setiap orang memilikifithrahitu, terbawa serta olehnya sejak kelahiran, walaupun sering,karena kesibukan dan dosa, fithrahitu terabaikan.

Karena itu, suarafithrahbegitu lemah, hanya sayup-sayup. Suara itulah yang dikumandangkan pada‘idulfithri, yakniAllahu Akbar, Allahu Akbar, Allah Akbar. Alhasil, bila kalimat-kalimat itu benar-benar tertancap dalam jiwa, akan hilanglah segala kebergantungan kepada unsur-unsur lain kecuali kepada Allah semata.

Tiada tempat bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, tiada tempat mengabdi, kecualidia. Ketika itu terjadi pada seseorang, terjadilah apa yang dilukiskan Ibn Sina dalamAl-Isyarat wa Al-Tanbihat:

Orang tersebut menjadi seorang ‘arif, yang bebas dari ikatan raganya. Dalam dirinya terdapat sesuatu yang tersembunyi, namun yang dari dirinya sendiri tampak sebagai sesuatu yang nyata. Ia selalu gembira dan banyak senyum.


Betapa tidak! Sejak ia mengenal-Nya, hatinya telah dipenuhi oleh kegembiraan. Dengan melihat Yang Mahasuci, semua dianggapnya sama, karena memang semuanya adalah makhluk Allah. Semua wajar mendapatkan rahmat baik yang taat maupun yang bergelimang dosa.


Ia tidak akan mengintip-intip kelemahan orang, tidak juga mencari-cari kesalahannya. Ia tidak akan marah, tidak pula tersinggung, walaupun melihat yang mungkar sekalipun, karena jiwanya selalu diliputi oleh rahmat dan kasih sayang.


Selain itu, karena dia juga memandang keindahan, ia mendengar sil Allah (rahasia Allah) terbentang di dalam qudrat-Nya. Bila mengajak kepada kebaikan, ia akan melakukannya dengan lemah lembut. Tidak dengan kekerasan, tidak pula dengan kecaman, kritikan yang melukai, atau ejekan.


Ia akan selalu bersifat dermawan. Betapa tidak, sedang cintanya tidak berbekas lagi. Ia akan selalu menjadi pemaaf. Betapa tidak, karena dadanya sudah sedemikian lapang sehingga tidak ada tempat lagi bagi kesalahan orang. Ia tidak akan menjadi pendendam. Bagaimana ia mampu mendendam, sedang seluruh ingatannya hanya tertuju kepada Yang Mahasuci lagi Mahaagung itu.

Kesucian menurut Quraish, adalah gabungan tiga unsur: benar, baik dan indah. Karena itu, seseorang yang ber-‘idul fithri, dalam arti ‘kembali kepada kesucian’ akan selalu berbuat yang indah, benar, dan baik.

Bahkan melalui kesucian jiwanya itu, ia akan melihat segalanya dengan pandangan positif. Ia selalu berusaha mencari sisi-sisi baik, benar, dan indah. Mencari yang indah melahirkan seni, mencari yang baik menimbulkan etika, mencari yang benar menghasilkan ilmu.

Ini berarti, orang yang ber-‘idul fithriakan menutup mata terhadap kesalahan, kejelekan dan keburukan orang lain. Kalaupun terlihat, selalu dicari nilai-nilai positif dalam sikap negatif tersebut. Dan, kalaupun tidak ditemukan, ia akan memberi maaf,bahkan berbuat baik pada yang melakukankesalahan.Selamat Hari Raya ‘Idul Fithri 1432 Hijriyah. {nasional.inilah.com}