Kisah Mbah Sarmin Yang Patut Dicontoh

Terbayang bagaimana rasanya hidup sebatang kara, cacat fisik dan tinggal dibekas bangunan kamar mandi. Namun itulah yang dijalani Mbah Saimin, warga Dusun Kaliboyo, Desa Keradenan, Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi.



Prihatin sekaligus menyedihkan, melihat Mbah Saimin menjalani kehidupannya. Gubuk tempat tinggalnya terletak di tengah ladang milik warga setempat. Karena bekas kamar mandi, di dalamnya terdapat bak penampung air sedalam setengah meter.

Bak tersebut dimanfaatkan oleh pemilik lahan untuk menyimpan alat-alat pertanian. Hanya ada lantai selebar badan orang dewasa sebagai ruang. Lantai itulah yang dimanfaatkan Mbah Saimin untuk melepas lelah setelah beraktifitas.

Itupun, kakek yang usianya diperkirakan lebih seabad ini, harus berbagi dengan tumpukan karung pupuk bekas.

Tempat tinggal Mbah Samin





Dikala hari mulai berganti, Mbah Saimin hanya berteman dengan gelapnya malam. Digubuknya tak ada listrik atau sekedar lampu tempel sebagai penerangan. Jika hujan turun, air akan masuk melalui celah-celah atap genteng yang lapuk.

Secara materi tak satu pun harta benda berharga yang ada. Hanya beberapa lembar pakaian yang sudah kumal dan kusam. Rata-rata sudah sobek. Celana yang dipakainya pun tak pernah berganti. Sepertinya celana itu memang satu-satunya yang dimiliki.

Hartanya yang paling berharga hanyalah ingatannya yang masih kuat. Serta tubuhnya yang menurut warga memiliki imunitas yang luar biasa. Banyak warga bercerita, Saimin tak pernah terlihat mengalami sakit. Walau polda hidupnya diluar kebiasaan orang pada umumnya.

"Alhamdulillah ia tidak pernah sakit, meski hidup seperti itu," jelas Samidi (60), salah warga setempat sekaligus pemilik lahan yang ditempati Saimin.

Gubuk tempat tinggal Saimin itu awalnya adalah kamar mandi dari rumah warga bernama Dugel. Dugel seorang tuan tanah kaya di Desanya. Saimin salah seorang yang bekerja padanya. Setelah Dugel meninggal, Saimin tetap setia bekerja pada ahli warisnya.

Bahkan kesetiaan itu berlanjut hingga empat generasi. Samidi, pemilik lahan yang ditempati Saimin, adalah generasi keempat (satu-satunya) itu. Karena termakan usia dan pertimbangan keselamatan juga, akhirnya rumah tersebut dibongkar oleh Samidi.

Selanjutnya tanah yang ada disulap menjadi ladang pertanian. Ditanami berbagai tanaman, mulai jeruk, pepaya dan sayuran. Sebelumnya, Saimin oleh Samidi saat itu diajak tinggal bersama di rumah barunya. Namun Mbah Saimin menolak secara halus.

"Sebetulnya saya kasihan sama dia. Nanti dikira sama orang saya yang tidak tahu diri. Padahal tidak. Tapi bagaimana lagi? Lah wong dia-nya tidak mau, dipaksa juga tambah nesu (marah)," ucap Samidi yang menyebut pribadi Saimin sosok yang misterius.

Aktifitas Mbah Samin





Sepanjang hari Saimin menghabiskan waktunya untuk mengurus ladang. Kulit keriputnya terlihat gosong terbakar matahari. Ia mencabuti rumput liar dari petak satu ke petak lainnya. Berpindah dengan berjalan bertumpu pada kedua telapak tangannya.

Kedua kakinya tak lagi berfungsi secara normal. Terutama kaki kanannya, yang cacat permanen akibat terjatuh.

Atau dengan kata lain (maaf) Mbah Soimin berjalan ngesot untuk mobilitasnya. Semisal saat akan mandi disungai yang berjarak sekitar 30 meter utara rumahnya. Meski begitu, selama masih dapat dilakukannya, Mbah Soimin tak akan meminta bantuan orang lain.